Apakah Antibiotik?
Kita
sudah sangat sering mendengar tentang obat yang disebut antibiotik
. Obat jenis ini sangat sering diberikan kepada pasien. Fungsinya untuk membantu tubuh membunuh bakteri yang ada di dalam tubuh, yang diperkirakan menjadi biang keladi penyakit yang diderita pasien. Padahal tidak semua penyakit, membutuhkan antibiotik. Dan
obat antibiotik masuk ke dalam obat keras. Jika salah dalam penggunaan, bukannya, sembuh, bisa jadi malah menimbulkan penyakit baru karena bakteri menjadi lebih kebal terhadap antibiotik.
Menurut Ketua Departemen Mikrobiologi Klinik, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI)
Anis Karuniawati
, dokter berhak meresepkan antibiotik untuk mengobati infeksi. Namun, seharusnya dilakukan pemeriksaan laboratorium. Seringnya, pengecekan laboratorium biasanya baru dilakukan jika antibiotik tidak memberi dampak.
Berdasarkan beberapa penelitian, sekitar 40 hingga 62 persen antibiotik digunakan untuk penyakit-penyakit yang tidak memerlukannya
. Setiap minggu, di dunia tercatat rata-rata 2.645.000 resep antibiotik dari dokter kandungan dan 1.416.000 dari dokter penyakit dalam. Dari
dua jenis spesialisasi ini saja, diperkirakan ada sekitar 211.172.000 resep antibiotik per tahunnya.
Bagaimana Penggunaan Antibiotik di Indonesia?
Selama 40 tahun terakhir, penggunaan antibiotik secara serampangan menjadi masalah di Indonesia. menurut Sri Indrawaty, Dirjen Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan
Kemenkes SEKITAR 50% antibiotik
di Indonesia diguna kan secara tidak tepat.
Sebuah penelitian di Jogja yg dilakukan oleh Prof dr Iwan Dwiprahasto, MMedSc, PhD, dari Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada. Dari
penelitiannya yang diterbitkan dalam Jurnal Berkala Ilmu Kedokteran tahun 1997, sebanyak 93 persen pasien anak yang menderita infeksi saluran pernapasan atas (ISPA) berupa batuk, pilek dan radang tenggorokan memperoleh resep antibiotik.
Dalam studi lain, ditemukan jumlah 92 hingga 98 persen penderita ISPA non pneumonia, baik anak-anak maupun dewasa, mendapat setidaknya satu macam antibiotik setiap kali berobat ke puskesmas. Kondisi ini juga terjadi pada praktik dokter swasta, dimana persentasenya mencapai 82 hingga 89 persen.
Padahal menurut kriteria World Health
Organization (WHO), persentase pasien ISPA yang benar-benar perlu memperoleh antibiotik hanya berkisar antara 7 sampai 14 persen. Sebagian besar kasus batuk, pilek, demam ringan, serta radang tenggorokan umumnya tidak perlu obat, karena umumnya itu disebabkan
virus yang akan membaik dengan sendirinya seiring meningkatnya daya tahan tubuh.
Menurut penelitian US National Ambuilatory Medical Care Survey pada tahun 1989, sebanyak 84 persen anak-anak di dunia memperoleh antibiotik. Di
Indonesia, data resmi mengenai penggunaan antibiotik memang belum ada. Sebuah studi mencatat bahwa resep antibiotik yang diberikan dokter anak untuk kasus infeksi telinga saja, mencapai 500 juta dolar pertahun.
Resistensi bakteri terhadap berbagai jenis antibiotik saat ini semakin banyak
. Kondisi ini menjadikan bakteri menjadi lebih kuat, kebal dan tak mempan lagi dengan antibiotik yang diberikan. Hal
ini disebabkan dosis penggunaan yang salah, dan juga pemberian antibiotik yang tidak tepat karena penyakit yang diterapi tidak disebabkan oleh bakteri.
Bakteri yang resisten ini bisa bertahan di tubuh atau menyebar ke orang lain. Resistensi bakteri bisa menyebabkan sakit parah dan menjadi sulit diterapi serta membutuhkan biaya yang lebih mahal. Bahkan tingginya resistensi bakteri atau disebut degnan superbugs, kadang bisa menyebabkan infeksi yang tidak bisa disembuhkan.
Resistensi antibitotik sudah terjadi di Indonesia
Dalam penelitian yang dilakukan oleh peneliti dari Indonesia dan Belanda tergabung dalam program Antimicrobial Resistent
in Indonesia (AMRINstudy) dan sudah dimuat dalam jurnal Tropical Medicine
and International Health pada bulan Juli tahun 2008 menyebutkan sudah ada resistensi antibiotik di Indonesia. Dari
2494 sampel, terdapat 40% yang mengalami resistensi antibiotik pada bakteri E. coli. Dengan beberapa jenis tingkatan resistensi obat tertentu, mulai 19% - 34%.
Beberapa Persepsi Salah di Masyarakat
Apakah ketika batuk, flu, radang tenggorokan membutuhkan antibiotik? Batuk, flu dan radang tenggorokan, diare bahkan sinusitis dan brochitis sering kali disebabkan oleh virus. Bakteri bisa jadi penyebab, namun perlu dilakukan tes laboratorium untuk menentukannya. Penyakit yang disebabkan virus, tentu saja tidak membutuhkan antibiotik.
Batuk
Sebagian besar batuk pada anak disebabkan virus, dan bisa menyebabkan demam dan flu. Penyebab lainnya adalah alergi dan terpapar asap rokok atau iritan lainnya. Begitu juga pada orang dewasa, lebih sering disebabkan virus, alergi dan polusi udara.
Warna lendir atau mukus tidak bisa dijadikan patokan apakah tubuh mengalami infeksi bakteri dan membutuhkan antibiotik. Kondisi ini adalah mukus yang normal yang ada di saluran nafas atau bronchi untuk berubah warnanya dari terang ke kuning, hijau atau putih ketika kekebalan tubuh sedang melawan virus.
Radang Tenggorokan
Sembilan
dari 10 radang tenggorokan disebabkan oleh virus. Infeksi tenggorokan yang disebabkan oleh bakteri, selain menimbulkan nyeri tenggorokan juga seringkali disertai gejala lain seperti demam, perubahan bentuk tonsil, pembengkakan pada nodus limfa di sekitar tenggorokan, demam dan tidak mengalami batuk. Jika mengalami nyeri tenggorokan dan minimal 2 gejala lainnya, maka, Anda boleh melakukan tes laboratorium untuk mengeceknya.
Bahkan mengkonsumsi antibiotik jua tidak akan mencegah hidung yang tersumbat. Bahkan jika mengkonsumsi antibiotik yang sebenarnya tidak dibutuhkan bisa menimbulkan risiko resistensi infeksi bakteri di kemudian hari. Jadi sebelum mengkonsumsi antibiotik, pastikan anda melakukan pengecekan mikrobiologi untuk menentukan apakah sinusitis yang diderita benar-benar disebabkan oleh bakteri.
Sinusitis
Sinusitis
adalah inflamasi atau peradangan pada sinus, yang terletak di hidung, tenggorokan
. Sebagian besar sinusitis disebabkan oleh virus. Penyebab lainnya adalah alergi, terpapar asap rokok, debu dan iritan lainnya di rumah, sekolah maupun tempat kerja. Bisa juga disebabkan infeksi bakteri, namun karena sebagian besar sinusitis disebabkan virus, penggunaan antibiotik kadang tidak membantu.
Mengkonsumsi antibiotik jua tidak akan mencegah hidung yang tersumbat
. Bahkan jika mengkonsumsi antibiotik yang sebenarnya tidak dibutuhkan bisa menimbulkan risiko resistensi infeksi bakteri di kemudian hari. Jadi sebelum mengkonsumsi antibiotik, pastikan anda melakukan pengecekan mikrobiologi untuk menentukan apakah sinusitis yang diderita benar-benar disebabkan oleh bakteri.
Kapan Waktu Tepat Minum Antibiotik?
Infeksi saluran kemih, Sebagian infeksi telinga tengah atau biasa disebut otitis media, sinusitis
yang berat (berlangsung lebih dari minggu, sakit kepala, pembengkakan di daerah wajah), radang tenggorokan karena infeksi kuman streptokokus. Semua diagnosis tersebut dilakukan setelah melakukan tes laboratorium.
Efek Samping Antibiotik
Gangguan saluran cerna (diare, mual, muntah, mulas) merupakan efek samping yang paling sering terjadi. Reaksi alergi. Mulai dari yang ringan seperti ruam, gatal sampai dengan yang berat seperti pembengkakan bibir/kelopak mata, gangguan nafas, dll. Demam (drug fever). Antibiotik yang dapat menimbulkan demam bactrim, septrim, sefalsporoin & eritromisin. Gangguan darah: beberapa Antibiotik dapat mengganggu sumsum tulang, salah satunya kloramfenikol. kelainan hati :Antibiotik yang paling sering menimbulkan efek ini adalah obat TB seperti INH, rifampisin dan PZA (pirazinamid).
Gangguan fungsi ginjal. Golongan Antibiotik yang bisa menimbulkan efek ini adalah aminoglycoside (garamycine, gentamycin intravena), Imipenem/Meropenem dan golongan Ciprofloxacin. Bagi penderita penyakit ginjal, harus
hati2 mengkonsumsi Antibiotik.
Lalu Adakah Antibiotik Alami yang Bisa Menggantikan Antibiotik di pasaran?
Pondok Holistik Indonesia
Jalan Damai Gg Sunan Muria no. 5
Jaban, Ngaglik, Sleman
0878 3966 0590
0274 851 6868